SEJARAH PERJUANGAN SUNAN KALIJAGA
Sunan Kalijaga lahir
pada tahun 1455.[1]
Beliau diberi nama Raden Mas Said atau yang bergelar “Sunan Kalijaga” yang
merupakan putra dari Ki Tumenggung Wilatikta yaitu Bupati Tuban. Dan ada pula
yang mengatakan bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur
Tumenggung Wilatikta. Selain mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau juga
mempunyai putri yang bernama Dewi Roso Wulan.
Saat Sunan Kalijaga
masih kecil, beliau sudah merasakan dan melihat lingkungan sekitar yang
kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan
ia bertanya kepada ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab oleh ayahnya
bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana
banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan
rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang
dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Namun akhirnya ia ketahuan dan
dihukum cambuk 200 kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh ayahnya,
yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia
lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia di
usir oleh ayahnya dari Kadipaten. Akhirnya ia pun pergi, tinggal di hutan
Jadiwangi dan menjadi perampok orang-orang kaya dan berjuluk Brandal Lokajaya.
Selain gelar tersebut sebenarnya Sunan Kalijaga juga mempunyai nama-nama lain
seperti R. Abdurrahman, Syeh Malaya, Pangeran Tuban serta Jogoboyo.[2]
Pada suatu hari di
dalam hutan Jadiwangi itu Sunan Bonang sedang lewat, kemudian ia dihadang dan
hendak dirampok. Sunan Bonang berkata pada Sunan Kalijaga, “kelak, kalau ada
orang lewat disini, memakai pakaian serba hitam, serta berselendang bunga
wora-wari merah, ini sebaiknya rampoklah”. Raden Said menuruti, Sunan Bonang
dibebaskan. Kira-kira tiga hari kemudian orang yang ditunggu-tunggu lewat di
tempat itu. Raden Said siap menghadang orang itu. Pakaiannya serba hitam,
berselendang bunga wora-wari merah. Setelah dihentikan oleh Raden Said, Sunan
Bonang berubah menjadi empat. Raden Said ketakutan melihat kejadian itu dan
berjanji pada Sunan Bonang untuk mengakhiri perbuatan nistanya itu. Kemudian ia
bertapa dua tahun, karena beliau taat pada Sunan Bonang. Setelah bertapa Raden
Said pindah ke Cirebon. Disitu beliau bertapa lagi di pinggir kali, bernama
Kalijaga. Dari sinilah sejarahnya kenapa beliau bergelar “Sunan Kalijaga”. Lama
kelamaan kemudian beliau diambil ipar oleh Sunan Gunung Jati.[3]

Beliau menikah dengan
dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima) anak, yaitu:
1. Kanjeng Ratu Pembayun
yang menjadi istri Raden Trenggono (Demak)
2. Nyai Ageng Penenggak
yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar
3. Sunan Hadi (yang
menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala Perdikan
Kadilangu.
4. Raden Abdurrahman
5. Nyai Ageng Ngerang.
Dalam suatu cerita
dikatakan bahwa Sunan Kalijaga pernah juga menikah dengan Dewi Sarah binti
Maulana Ishak, Sunan Kalijaga mempunyai tiga orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden Umar Said (Sunan
Muria)
2. Dewi Ruqoyah
Nama Kalijaga menurut
setengah riwayat, dikatakan berasal dari rangkaian bahasa Arab “Qadli Zaka”,
Qadli artinya pelaksana, penghulu: sedangkan Zaka artinya membersihkan. Jadi
Qadlizaka atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah
menjadi Kalijaga itu artinya adalah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan
kebersihan (kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian, ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1479), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga kerajaan panjang yang lahir pada
1541 serta awal kehadiran kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan
Senopati.[5]
Pada umumnya para
Walisongo namanya menjadi terkenal dengan tempat dimana wali itu dimakamkan.
Tidak demikian halnya dengan Sunan Kalijaga yang makamnya berada di Kadilangu,
tetapi namanya tetap terkenal dengan sebutan “Sunan Kalijaga”.[6]
B. Peran Sunan Kalijaga dalam Penyebaran Islam
Pada saat giat-giatnya
para Walisongo berjuang menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang
termasuk di dalamnya tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan
tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka
para wali yang masih muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik
kecerdasan dan ilmu-ilmu yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang
masih muda bila dibandingkan dengan yang lainnya.
Ternyata Sunan
Kalijaga di dalam gerak perjuangannya tidak lepas dari penugasan khusus dan
bimbingan yang diberikan oleh para sesepuh Walisongo, misalnya bimbingan yang
diberikan oleh Sunan Ampel dan Sunan Bonang disamping dari pihak kesultanan
Patah di daerah-daerah yang rawan tata krama, rawan tata susila dan masih kuat
dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan agama Hindu dan Budha serta masih
melakukan kebiasaan-kebiasaan warisan nenek moyang mereka. Karena itu Sunan
Kalijaga benar-benar membanting tulang tidak hanya melakukan dakwah di suatu
daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang
malam terus melakukan tugas itu. Beliau terus keliling dari daerah satu ke
daerah yang lainnya, sehingga terkenal sebagai “muballigh keliling”[7]
atau Da’i keliling, ulama besar, seorang wali yang memiliki karisma tersendiri
diantara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat
apalagi kalangan bawah. Ia di sebagian tempat juga dikenal bernama “Syeh
Malaya”.
Ia dapat dikatakan
sebagai ahli budaya, misalnya : pengenalan agama secara luwes tanpa
menghilangkan adat-istiadat / kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna
Islami), menciptakan baju taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan
Dandanggulo dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu lir-ilir yang sampai
saat ini masih akrab di kalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir
bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat
bedug di masjid guna mengerjakan shalat berjamaah, acara ritual berupa gerebeg
Maulud yang asalnya dari tabligh atau pengajian akbar yang diselenggarakan di
Masjid Demak untuk memperingati Maulud Nabi, menciptakan Gong sekaten bernama
asli Gang Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan
berbunyi dan bermakna bahwa “mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama
Islam”, pencipta wayang kulit di atas kulit kambing, sebagai dalang (dari kata
dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar), wayang kulit dengan beberapa
cerita yang ia senangi yaitu antara lain jimat kalimasada dan dewa ruci serta
petruk jadi raja dan wahyu widayat, serta sebagai ahli kata-kata seperti
misalnya pengaturan istana atau kabupaten dengan alun-alun serta pohon beringin
dan masjid.[8]
Diantara para wali
sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang
pemimpin, mubaligh, pujangga dan filosofi, daerah operasinya tidak terbatas,
oleh karena itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (“reizendle
mubaligh”). Jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh para kaum
ningrat dan sarjana.
Kaum bangsawan dan
cendekiawan amat simpatik kepada beliau. Karena caranya beliau menyiarkan agama
Islam yang disesuaikan dengan aliran zaman Sunan Kalijaga adalah seorang wali
yang kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta
berperasaan dalam semasa hidupnya, Sunan Kalijaga terhitung seorang wali yang
ternama serta disegani, beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang
berinisiatif mengarang cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran
Islam dengan lain perkataan.
Dalam cerita wayang
itu dimaksudkan sebanyak mungkin unsur-unsur ke-Islam-an, hal ini dilakukan
karena pertimbangan bahwa masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal
kepercayaannya terhadap Hinduisme dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha,
atau dengan kata lain, masyarakat masih memegang teguh tradisi-tradisi atau
adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka
kepada pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian
lainnya, sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang
mubaligh memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat
istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam asimilasi kebudayaan, jalan dan cara
mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam mengembangkan
agama Islam disini.
Sedang menurut adat
kebiasaan pada setiap tahun, sesudah konferensi besar para wali, di serambi
masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana
(bahasa Jawa : terbangan) menurut seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga
hendak disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam pikiran
masyarakat Jawa. Maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan di atas pagengan
yaitu sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasi
beraneka macam bunga-bungaan yang indah, gapura masjid pun dihiasi pula,
sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung di sana.
Kemudian dimuka gapura
masjid, tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan
wejangan-wejangan serta nasehat-nasehatnya, uraian-uraiannya diberikan dengan
gaya bahasa yang menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertarik
untuk masuk ke dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang di tabuh,
artinya dibunyikan itu dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid. Akan
tetapi terlebih dahulu harus mengambil air wudlu di kolam masjid melalui pintu
gapura. Upacara yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa
bagi barang siapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke
dalam masjid melalui gapura (dari bahasa Arab Ghapura), maka berarti bahwa
segala dosanya sudah diampuni oleh Tuhan.
Dalam dakwah, ia punya
pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham
keagamaannya cenderung “sufistik” berbasis salaf bukan sufi panteistik
(pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal, ia berpendapat bahwa masyarakat
akan menjauh jika di serang pendiriannya. Maka harus didekati secara bertahap;
mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah
dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang.[9]
C. Jasa-jasa Sunan Kalijaga
1. Bidang strategi
perjuangan
Seperti diketahui,
Walisongo di dalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak
begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan cara-cara dan jalan (taktik
dan strategi) yang diperhitungkan benar-benar, memakai
pertimbangan-pertimbangan yang masak, tidak ngawur sehingga agama Islam
disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh kesadaran,
bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga di
dalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan
rakyat yang masih tebal dipengaruhi kepercayaan agama Hindu Budha dan gemar
menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau kepercayaannya itu, maka
bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang demikian itu, sehingga taktik
dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula dengan keadaan, ruang dan
waktu.
Berhubung pada waktu
itu sedikit para pemeluk agama Syiwa Budha yang fanatik terhadap ajaran
agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila dalam mengembangkan agama Islam
selanjutnya tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana dan melalui jalan
pendekatan yang mudah ditempuh. Para wali termasuk Sunan Kalijaga mengetahui
bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali dengan kesenian dan
kebudayaan mereka, misalnya gemar terhadap gamelan dan keramaian-keramaian yang
bersifat keagamaan Syiwa Budha.
2. Bidang kesenian
Sunan Kalijaga
ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai bentuknya. Maksud utama
kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat dalam bertabligh mengelilingi
berbagai daerah, ternyata malah mempunyai nilai yang berharga bagi bangsa
Indonesia.
Sungguh besar jasa
Sunan Kalijaga terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja,
akan tetapi juga meliputi seni drama (wayang kulit), seni gamelan, seni lukis,
seni pakaian, seni ukir, seni pahat dan juga dalam lapangan kesusastraan,
banyak corak batik oleh Sunan Kalijaga (periode Demak) diberi motif “burung” di
dalam beraneka macam, sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah
sangat indahnya, akan tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan
dan pengajaran budi pekerti, di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila”
dan kata bahasa kawi ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata “quu”
dan “qilla” atau “quuqilla” yang artinya “peliharalah ucapan
(mulut) mu”.[10]
Di lain pihak Sunan
Kalijaga juga menciptakan karangan cerita-cerita pewayangan yang kemudian
dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang yang sampai sekarang masih ada.
Cerita-cerita itu masih berbentuk cerita menurut kepercayaan Jawa dengan corak
kehidupannya yang ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak
mungkin.
Cara itu dilakukan
oleh Sunan Kalijaga karena adanya pertimbangan, bahwa rakyat pada saat itu
masih tebal kepercayaan Hindu dan Budhanya.
3. Bidang lain-lain
Selain jasa-jasa
beliau di atas tadi, masih ada jasanya yang lain seperti pendirian Masjid Agung
Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut serta membangun masjid bersejarah
itu. Malah ada hasil karya beliau yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu “Soko
Total” artinya tiang pokok dalam masjid Agung Demak yang terbuat dari
potongan-potongan kayu jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang buat berdiameter
kurang lebih 70 cm. ini yang membuat adalah Sunan Kalijaga.[11]
D. Peninggalan-peninggalan Sunan Kalijaga
1. Masjid Sunan Kalijaga
Di Cirebon tepatnya di
desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid kuno, letaknya bersebelahan dengan
petilasan pertapaan Sunan Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat Cirebon
khususnya dikenal dengan nama Masjid Sunan Kalijaga.
Masjid ini tampak
kelihatan angker dari luar, mungkin karena letaknya yang berada di
tengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang “kera”. Di sekeliling
masjid tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya sedikit, jurang lebih terdiri
dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang berfungsi, baik untuk berjamaah
shalat lima waktu maupun sebagai tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama
Islam.
2. Masjid Kadilangu
Sewaktu Sunan Kalijaga
masih hidup, masjid Kadilangu itu masih berupa surau kecil. Setelah Sunan
Kalijaga wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Hadi (putra
ketiga) surau tersebut disempurnakan bangunannya sehingga berupa masjid seperti
yang kita lihat sekarang ini.
Disebutkan di sebuah
prasasti yang terdapat di pintu masjid sebelah dalam yang berbunyi “menika
tiki mongso ngadekipun asjid ngadilangu hing dino ahad wage tanggal 16 sasi
dzulhijjah tahun tarikh jawi 1456”, (ini waktunya berdiri masjid Kadilangu
pada hari ahad wage tanggal 16 bulan dzulhijjah tahun tarikh Jawa 1456).
Tulisan aslinya bertulisan huruf Arab. Menurut tutur rakyat Kadilangu masjid
itu beberapa kali mengalami perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian
bangunannya yang sudah tidak asli, terutama bagian luarnya.
3. Keris Kyai Clubuk
4. Keris Kyai Syir’an
5. Kotang Ontokusumo
Menurut beberapa
cerita rakyat menyatakan bahwa dahulu waktu para Walisongo sudah selesai
menunaikan shalat subuh di masjid Agung Demak, tiba-tiba terlihatlah ada sebuah
bungkusan yang terletak di depan mikhrab. Maka oleh Sunan Bonang diminta supaya
Sunan Kalijaga mengambil dan memeriksanya. Ternyata bungkusan tersebut berisi
“baju” (kutang), dan secarik kertas yang menerangkan baju itu adalah anugerah
dari Nabi Muhammad Saw, dan menerangkan supaya kulit kambing yang terdapat juga
dalam bungkusan itu dibuat baju juga. Menurut cerita kedua baju itu sampai
sekarang masih terawat baik, yang pertama “baju ontokusumo” yang
disimpan di musium kraton Solo dan “baju kyai Gondil” ada dalam makam
Sunan Kalijaga di Kadilangu.[12]